Selamat Datang di Dunia Nyata

dunia yang penuh tantangan

Jumat, 24 Juni 2011

OHEO



Alkisah, di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara, hidup seorang pemuda tampan bernama Oheo. Ia tinggal sendirian di sebuah gubuk di tengah hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menanam pohon tebu di kebunnya. Oheo seorang petani yang rajin dan tekun. Setiap hari ia merawat tanaman tebunya dengan baik.

Pada suatu waktu, ketika tanaman tebunya sudah siap dipanen, Oheo berjalan-jalan mengelilingi kebunnya. Alangkah terkejutnya ia ketika menyaksikan banyak ampas tebu yang berhamburan di pinggir kebunnya dekat sungai. Melihat keadaan itu, Oheo menjadi kesal dan marah. Ia pun berniat untuk menangkap pelakunya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Oheo berangkat ke kebunnya. Sesampainya di kebun, ia segera menuju ke tepi sungai. Saat akan sampai di tepi sungai, tiba-tiba langkahnya terhenti. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, ada tujuh bidadari cantik sedang terbang berputar-putar di atas sungai. Melihat hal itu, ia segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu ia terus memerhatikan gelagat ketujuh bidadari tersebut.

“Aduhai... cantiknya bidadari-bidadari itu!” ucap Oheo dengan penuh takjub.

Beberapa saat kemudian, ketujuh bidadari tersebut turun dan berdiri di tepi sungai. Kemudian mereka berjalan menuju ke kebun tebu Oheo. Tidak berapa lama, mereka pun kembali ke tepi sungai sambil membawa batang tebu. Di tepi sungai itu, mereka asyik menikmati manisnya air tebu milik Oheo. Setelah itu mereka membuang ampas tebu tersebut dan membiarkannya berserakan di tepi sungai. Usai makan tebu, mereka mencebur ke sungai untuk mandi. Melihat kejadian itu, maka tahulah Oheo bahwa ternyata yang memakan tanaman tebunya adalah para bidadari tersebut.

Pada mulanya, Oheo sangat kesal dan marah. Namun, setelah mengetahui bahwa pelakunya adalah bidadari cantik, hatinya tiba-tiba berubah menjadi senang dan gembira. Bahkan ia berniat untuk memperistri salah seorang dari mereka.

Ketika para bidadari tersebut sedang asyik mandi sambil bersendau gurau, Oheo merayap menuju ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan. Dengan hati-hati, Oheo mengambil sehelai selendang dengan menggunakan ranting kayu. Setelah berhasil mengambil selendang yang berwarna ungu, ia segera membawanya pulang ke rumah dan menyembunyikannya di dalam ujung kasau bambu dekat jendela. Setelah itu, ia kembali ke tempat persembunyiannya untuk mengintip para bidadari yang sedang mandi.

Saat hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi. Mereka pun bergegas mengenakan pakaian masing-masing lalu terbang ke angkasa menuju ke kayangan. Namun, salah seorang dari mereka tidak dapat terbang karena selendangnya hilang. Dia adalah putri (bidadari) bungsu yang bernama Anawangguluri. Ia sudah mencari selendangnya ke sana kemari, namun tetap tidak menemukannya. Akhirnya, tinggalah ia seorang diri di tepi sungai itu.

Tidak lama kemudian, Oheo keluar dari tempat persembunyiannya, lalu menghampiri Putri Anawangguluri.

“Hai putri cantik! Aku Oheo. Aku tinggal di sekitar daerah ini,” sapa Oheo memperkenalkan diri.

“O iya, kamu siapa?” tanya Oheo.

“Aku Anawangguluri dari negeri Kahyangan. Penduduk Kahyangan memanggilku Anawai,” jawab gadis cantik itu.

“Kenapa kamu berada sendirian di sini?” tanya Oheo.

“Tadinya aku bersama keenam saudariku mandi di sungai ini. Namun, mereka meninggalkanku seorang diri di sini, karena aku tidak dapat terbang kembali menuju ke Kahyangan. Pada saat kami sedang asyik mandi, selendangku tiba-tiba hilang. Apakah engkau melihatnya, Oheo?” putri balik bertanya kepada Oheo.

“Tidak, Putri,” jawab Oheo.

Mendengar jawab itu, Putri Anawai bertambah sedih, karena semakin tidak mempunyai harapan untuk bisa kembali ke Kahyangan. Sementara ia sendiri tidak memiliki siapa-siapa di bumi.

“Maukah kamu menolongku, Oheo?” tanya Putri Anawai mengiba kepada Oheo.

“Apakah itu, Putri? Katakanlah!” seru Oheo.

“Bolehkah aku tinggal di rumahmu untuk sementara waktu? Jika aku sudah menemukan selendangku, aku akan kembali lagi ke Kahyangan,” pinta sang Putri.

“Baiklah, aku akan menolongmu. Tapi dengan syarat kamu mau menikah denganku,” jawab Oheo.

Sebenarnya permintaan Oheo itu sangatlah berat bagi Putri Anawai. Sebab, jika ia menikah dengan Oheo, tentu ia akan semakin jauh dari orangtua dan saudari-saudarinya yang tinggal di Kahyangan. Namun karena tidak ada pilihan lain, ia pun menerima permintaan Oheo. Sebelum mereka menikah, Putri Anawai juga mengajukan sebuah permintaan kepada Oheo.

“Jika di kemudian hari kita mempunyai anak, engkaulah yang membersihkan kotoran anak kita,” kata Putri Anawai.

Oheo pun menerima permintaan Putri Anawai. Setelah itu mereka menikah dan hidup bahagia.

Setahun kemudian, mereka dikarunia seorang anak laki-laki. Sesuai dengan perjanjian, setiap kali anak mereka buang air besar, Oheo-lah yang selalu membersihkan kotorannya. Begitulah setiap hari hingga anak mereka berumur setengah tahun.

Pada suatu hari, ketika Oheo sedang sibuk menganyam atap di halaman rumah, tiba-tiba si anak buang air besar.

“Bang! Anak kita sedang buang air besar!” teriak Putri Anawai dari dalam rumah.

“Abang sedang sibuk,” jawab Oheo sambil terus menganyam atap rumah.

“Bang! Anak kita sudah selesai buang air besar. Bersihkan dulu kotorannya!” sang Istri kembali berteriak dari dalam rumah.

Berkali-kali istrinya memanggil, namun Oheo tetap menolak untuk membersihkan kotoran anak mereka. Bahkan ia menyuruh istrinya yang membersihkannya.

“Kamu saja yang membersihkannya!” jawab Oheo dengan nada keras.

Bagaikan disambar petir telinga Putri Anawai mendengar jawaban suaminya. Pada saat itulah tiba-tiba terlontar kata-kata dari mulutnya.

“Bang! Apakah Abang sudah lupa dengan janji Abang sebelum kita menikah?”

“Untuk apa lagi kamu mengungkit-ungkit masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu,” jawab Oheo dengan nada ketus.

Hati Putri Anawai semakin sakit mendengar jawaban suaminya. Dengan berderai air mata, ia pun membersihkan sendiri kotoran anak mereka. Setelah itu, ia berdiri di depan jendela sambil menyaksikan pemandangan alam di sekitarnya. Sesekali pandangan matanya mengarah ke angkasa. Ia tiba-tiba merasa rindu ingin kembali ke Kahyangan untuk bertemu keluarganya. Tak terasa, air matanya berderai membasahi pipinya.

Pada saat akan mengalihkan pandangannya ke alam sekitar, tiba-tiba ia melihat sebuah kain berwarna ungu terselip di ujung kasau bambu. Dengan tangan gemetar, perlahan-lahan ia menarik kain itu. Alangkah terkejutnya saat kain yang masih utuh itu berada di tangannya.

“Hei, bukankah ini selendangku yang hilang itu? Tapi, kenapa ada di sini?” tanyanya dalam hati dengan penuh keheranan.

“Mmm... pasti suamiku yang menyembunyikannya,” ucapnya.

Alangkah senangnya hati Putri Anawai karena telah menemukan selendangnya. Harapannya untuk kembali ke negerinya akan tercapai. Ia pun segera menggendong anaknya dan menciumnya dengan penuh kasih-sayang.

“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu bersama ayahmu,” ucap Putri Anawai sambil mencium kening anaknya dengan penuh kasih sayang.

Setelah itu, Putri Anawai meletakkan anak itu di lantai rumah seraya memanggil suaminya.

“Bang! Tolong jaga anak kita! Aku akan kembali ke Kahyangan.”

Pada mulanya, Oheo tidak percaya akan hal itu. Ia tetap asyik dengan pekerjaannya. Setelah istrinya memanggilnya berkali-kali, Oheo pun segera beranjak dari tempatnya dan segera masuk ke dalam rumah. Ketika berada di dalam rumah, ia mendapati istrinya sedang terbang keluar melalui jendela.

“Istriku, jangan tinggalkan kami!” teriak Oheo.

Putri Anawai tidak lagi menghiraukan teriakan suaminya. Kemudian ia terbang ke atas pohon pinang, lalu terbang hinggap di atas pohon kelapa. Beberapa kali suaminya berteriak memanggilnya, ia tetap tidak menghiraukannya. Akhirnya, ia terus terbang ke angkasa menuju negeri Kahyangan.

Oheo sangat menyesali perbuatannya. Seandainya dia membersihkan kotoran anaknya, pasti istrinya tidak akan meninggalkannya. Kini, ia bertambah bingung, tidak tahu cara mengasuh anak yang ditinggalkan oleh istrinya. Akhirnya, ia pun segera mencari bantuan kepada siapa saja yang bersedia mengantarnya sampai ke negeri Kahyangan. Setelah berhari-hari berkeliling ke mana-mana, akhirnya ia menemukan sejenis tumbuhan yang bernama Ue-Wai yang bersedia menolongnya. Tetapi dengan syarat, Oheo harus membuatkannya cincin untuk dipasang pada setiap tangkainya.

Setelah Oheo memenuhi permintaannya, tumbuhan Ue-Wai menyuruh Oheo agar duduk dan berpegang erat di tangkainya. Sebelum menjulang ke angkasa, Ue-Wai berpesan kepada Oheo.

“Setelah berada di angkasa, kita akan mendengarkan suara keras sebanyak dua kali. Jika mendengar suara pertama, langsung tutup matamu, dan jika mendengar suara keras yang kedua bukalah matamu,” ujar tumbuhan Ue-Wai.

“Baiklah. Aku akan mengikuti petunjukmu,” jawab Oheo sambil menggendong anaknya.

Beberapa saat kemudian, Ue-Wai itu pun melambung tinggi-tinggi dengan sangat cepat. Saat berada di angkasa, terdengarlah bunyi letusan pertama yang sangat keras. Oheo pun segera menutup mata rapat-rapat. Tidak berapa lama, terdengar lagi bunyi letusan kedua yang lebih keras lagi. Oheo pun segera membuka kedua matanya. Alangkah terkejutnya Ohea saat kedua matanya terbuka. Tiba-tiba ia melihat sebuah istana yang sangat megah di hadapannya. Rupanya, ia sudah berada di halaman istana kerajaan negeri Kahyangan.

Pada saat itu, para putri raja sedang berjalan-jalan di halaman istana. Salah seorang di antara mereka melihat Oheo sedang duduk bersama anaknya. Mereka pun segera melaporkan keberadaan Oheo tersebut kepada raja. Mengetahui hal itu, sang Raja menyuruh Oheo menghadap kepadanya.

“Hei Oheo! Jika kamu ingin bertemu dengan istrimu, kamu harus melalui beberapa ujian, karena kamu telah berbuat kesalahan kepada putriku,” ujar sang Raja.

“Ujian apakah itu, Tuan?” tanya Oheo penasaran.

“Pertama, kamu harus menumbangkan batu sebesar istana. Kedua, kamu harus memungut bibit padi yang disebar di padang luas tanpa tersisa sebiji pun. Ketiga, kamu harus menemukan istrimu yang tidur di dalam sebuah ruangan pada waktu malam gelap gulita,” jelas sang Raja.

“Jika kamu gagal melalui salah satu dari ketiga ujian tersebut, maka kamu tidak akan bertemu dengan istrimu untuk selamanya,” tambah sang Raja mengancam.

Oleh karena keinginannya ingin bertemu dengan istrinya sangat besar, Oheo pun berusaha untuk melaksanakan ketiga ujian tersebut. Ujian pertama dan kedua berhasil ia lewati dengan bantuan kawanan tikus, burung, dan hewan lainnya. Namun, ketika akan menjalani ujian ketiga, Oheo merasa tidak mampu melakukannya. Kawanan tikus, burung dan beberapa hewan lainnya juga tidak dapat membantunya.

Saat malam menjelang, hati Oheo mulai gelisah dan cemas atas nasib yang akan menimpa dirinya. Jika gagal melewati ujian ketiga tersebut, maka ia akan terus mengasuh dan merawat anaknya sendirian. Ketika ia sedang duduk termenung sambil memangku anaknya, tiba-tiba seekor kunang-kunang datang menghampirinya.

“Hei, Oheo! Kenapa termenung begitu. Apakah kamu sedang ada masalah?” tanya kunang-kunang itu.

“Benar, aku mempunyai masalah yang tidak mampu kupecahkan! Aku harus menemukan istriku di dalam ruangan pada waktu malam gelap gulita. Sementara di ruangan itu terdapat banyak tempat tidur yang bentuknya sama. Istriku dan saudari-saudarinya akan tidur di tempat tersebut, sedangkan wajah mereka hampir sama,” keluh Oheo.

“Jangan khawatir, Oheo! Aku akan membantumu. Nanti malam, ikuti ke mana aku terbang. Di mana aku hinggap, di situlah istrimu,” ujar Kunang-kunang itu.

Oheo sangat senang mendengar petunjuk itu. Pada malam harinya, kunang-kunang itu terbang mencari istri Oheo di dalam ruangan yang gelap gulita. Sementara Oheo mengikutinya dari belakang sambil menggendong anaknya. Tidak beberapa lama, kunang-kunang itu hinggap pada salah satu tempat tidur. Dengan hati gemetar, Oheo bersama anaknya naik ke tempat tidur itu. Ternyata benar, orang yang tidur di situ adalah istrinya. Alangkah senangnya hati Oheo dapat bertemu kembali dengan istrinya. Begitu pula si anak, ia merasa bahagia dapat tidur nyenyak di samping ibunya.

Oleh karena berhasil melalui ujian tersebut, akhirnya Oheo diperkenankan untuk membawa serta istrinya kembali ke bumi. Oheo bersama anak dan istrinya pun turun ke bumi melalui seutas tali.

Sesampainya di bumi, Ohea bersama keluarganya memulai hidup baru. Oheo semakin rajin dan bersemangat bekerja. Ia membuka kebun baru lagi dan menanaminya dengan berbagam jenis tanaman seperti padi, jagung, umbi-umbian, kelapa, dan lain-lain. Dengan hasil kebun tersebut, Oheo bersama keluarganya hidup sejahtera dan bahagia.

* * *

Demikian cerita Oheo dari daerah Kendari, Sulawesi Tenggara. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah akibat buruk yang ditimbulkan sifat munafik. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Oheo yang telah mengingkari janjinya untuk membersihkan kotoran anaknya. Akibatnya, istrinya pun pergi meninggalkannya. Kepergian istrinya membuatnya kebingungan, karena tidak dapat mengurus dan merawat anaknya sendirian. Tunjuk ajar Melayu banyak menggambarkan tentang keburukan sifat munafik, di antaranya:
apa tanda orang celaka,
hidup selalu bermuka dua

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa menyesali perbuatan dan berjanji untuk tidak mengulangi kembali suatu kesalahan akan mendatangkan manfaat bagi seseorang. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Oheo yang bersusah payah pergi ke Kahyangan untuk mencari istrinya, walaupun harus melalui berbagai rintangan dan ujian. Alhasil, ia pun dapat berkumpul kembali bersama keluarganya. (Samsuni/sas/96/08-08)

La Sirimbone



Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Indonesia, hiduplah seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-lakinya yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar.

Pada suatu hari, datang seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La Patamba saat melihat penghuni gubuk itu adalah seorang perempuan cantik jelita.

“Aduhai, cantik sekali perempuan ini,” ucapnya dalam hati dengan takjub.

Dengan perasaan gugup, La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk menawarkan untuknya kepada penduduk lainnya. Dalam perjalanan berkeliling kampung, wajah Wa Roe selalu terbayang-bayang di depan matanya.

Saat hari mulai gelap, La Patamba kembali ke rumahnya di negeri seberang. Keesokan harinya, La Patamba kembali ke kampung itu. Namun, ia kembali bukannya untuk berdagang, melainkan ingin meminang Wa Roe. Untuk menghargai warga di kampung itu, La Patamba terlebih dahulu meminta restu kepada sesepuh kampung itu dan sekaligus meminta tolong untuk menemaninya pergi meminang Wa Roe. Setelah mendapat restu, maka berangkatlah La Patamba bersama sesempuh kampung itu ke tempat Wa Roe.

“Maaf, Wa Roe, jika kami datang secara tiba-tiba tanpa memberitahukanmu sebelumnya. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan La Patamba,” ungkap sesepuh kampung itu.

Mendengar hal itu, Wa Roe terdiam sejenak. Ia betul-betul tidak menyangka, begitu cepatnya La Patamba mengambil keputusan ingin menikah dengannya. Padahal ia baru sekali bertemu dan belum saling mengenal. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu memikirkan dirinya, tapi ia mengkhawatirkan anaknya. Setelah berpikir, Wa Roe bersedia menerima pinangan La Patamba.

“Baiklah. Saya menerima pinangan La Patamba, tapi dengan syarat ia bersedia menyayangi anakku, La Sirimbone,” jawab Wa Roe.

Mendengar jawaban dari Wa Roe, sesepuh kampung itu pun balik bertanya kepada La Patamba tentang syarat yang diajukan Wa Roe itu.

“Bagaiman menurutmu, La Patamba? Apakah kamu sanggup memenuhi syarat itu?”

“Aku bukanlah orang yang membenci anak. Aku akan menyayangi La Sirimbone seperti halnya anak kandungku sendiri,” janji La Patamba.

Wa Roe pun terbuai dengan kata-kata manis La Patamba. Akhirnya mereka pun menikah. Pada awalnya mereka hidup bahagia. La Patamba sangat menyayangi La Sirimbone seperti anak kandunyanya sendiri. Setiap pulang dari berdagang kain dari satu kampung ke kampung lainnya, ia selalu membawakannya oleh-oleh. Namun, kebahagiaan itu hanya berjalan satu bulan. La Patamba tiba-tiba membenci anak tirinya tanpa alasan. Hampir setiap hari ia memarahi dan memukuli La Sirimbone. Bahkan ia menyuruh istrinya agar membuang La Sirimbone ke tengah hutan. Namun, Wa Roe menolak perintah itu.

“Bang! Masih ingatkah dengan perjanjian kita sebelum menikah? Bukankah Abang berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandung Abang sendiri? Tapi, mengapa tiba-tiba Abang begitu membencinya?”

“Ah, persetan dengan janji itu! Waktu itu aku hanya berpura-pura memenuhi syarat itu agar aku dapat menikahimu,” jawab La Patamba dengan marah.

Wa Roe bersama anaknya menjadi ketakutan mendengar kemarahan La Patamba. Akhirnya, Wa Roe pun memutuskan untuk membuang anaknya ke tengah hutan dan segera mempersiapkan bekal untuknya. Sambil mempersiapkan bekal, air matanya berderai membasahi pipinya, karena sedih memikirkan nasib anaknya yang malang.

Keesokan harinya, berangkatlah Wa Roe bersama La Sirimbone menuju hutan. Setelah melewati tujuh buah lembah dan tujuh buah gunung, mereka pun berhenti di sebuah hutan lebat dan sepi.

“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu sendiri di sini,” kata Wa Roe sambil memeluk anak semata wayangnya.

“Ibu...! Bagaimana dengan nasibku, Bu?” tanya La Sirimbone mengiba sambil menangis.

“Pergilah sendiri melewati gunung dan lembah! Jagalah dirimu baik-baik! Ibu akan mendoakanmu semoga Tuhan selalu melindungimu,” jawab Wa Roe seraya berpamitan pulang.

Setelah ibunya pergi, La Sirimbone pun melanjutkan perjalanannya menelusuri hutan dan lembah. Sudah tujuh hari tujuh malam ia berjalan sendiri dan sudah tujuh lembah dan gunung yang ia lewati.

Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar.

“Wah, Aneh! Kenapa ada tapak kaki menusia sebesar ini?” tanyanya dalam hati.

Oleh karena penasaran, ia pun mengikuti tapak kaki raksasa itu. Setelah beberapa jauh berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gemuruh. Alangkah terkejutnya ia saat mendekati sumber suara itu. Ia melihat seorang raksasa perempuan sedang menumbuk. Ia pun menjadi gemetar ketakutan dan segera mendekap di betis raksasa perempuan itu.

“Hei, anak manusia! Siapa kamu dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu.

Dengan perasaan takut, La Sirimbone pun menceritakan tentang dirinya dan semua yang dialaminya hingga ia sampai di hutan itu. Mendengar cerita itu, rakasasa perempuan itu pun merasa iba dan mengajak La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Di rumah itu, La Sirimbone dimasukkan ke dalam sebuah kurungan.

“Kenapa aku dimasukkan ke dalam kurungan?” keluh La Sirimbone.

“Maaf, La Sirimbone! Aku sengaja memasukkanmu ke dalam kurungan ini agar kamu tidak dimakan oleh raksasa laki-laki. Ia selalu berkeliaran di hutan ini mencari mangsa,” jawab raksasa perempuan itu.

La Sirimbone pun menuruti perintah raksasa perempuan itu, karena takut dimakan oleh raksasa laki-laki. Demikianlah, setiap hari La Sirimbone tinggal di dalam kurungan hingga ia tumbuh menjadi dewasa.

Oleh karena jenuh tinggal terus di dalam kurungan, La Sirimbone meminta izin untuk pergi berjalan-jalan dan berburu binatang di dalam hutan itu. Ia pun diizinkan dan dibuatkan panah oleh raksasa perempuan itu. Setelah setengah hari berburu, ia pun memperoleh banyak binatang buruan.

Tiga hari kemudian, La Sirimbone kembali meminta izin untuk pergi menangkap ikan di sungai yang banyak ikannya. Ia pun diizinkan dan dibuatkan bubu (salah satu alat penangkap ikan). Bubu itu ia pasang di sungai. Alangkah gembiranya ia, karena banyak ikan yang terperangkap ke dalam bubunya. Sebelum pulang, ia memasang kembali bubunya di sungai itu.

Keesokan harinya, La Sirimbone kembali ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat bubunya kosong, tidak seekor ikan pun yang terperangkap di dalamnya.

“Aneh! Kenapa bubuku kosong? Padahal masih banyak sekali ikan di sungai ini,” keluh La Sirimbone dalam hati.

Akhirnya, ia kembali memasang bubunya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Ketika sampai di sungai, ia melihat jin sedang mengangkat bubunya. Oleh karena kesal, La Sirimbone pun menyerang jin itu. Maka terjadilah perkelahian dahsyat antara jin dan La Sirimbone. Dalam perkelahian itu La Sirimbone berhasil mengalahkan dan menangkap jin itu. La Sirimbone tidak mau melepaskannya, hingga akhirnya jin itu berjanji akan memberikan sebuah jimat berupa cincin yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan mampu menghidupkan kembali orang mati.

Setelah menerima jimat itu, La Sirimbone bergegas pulang ke rumah raksasa perempuan dengan menyusuri tepi sungai. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor babi yang sedang berjalan di atas air.

“Hei, Babi! Bagaimana kamu bisa berjalan di atas air?” tanya La Sirimbone heran.

“Aku memakai jimat kalung,” jawab babi itu.

“Maukah kamu memberikan jimat itu kepadaku?” pinta La Sirimbone.

Babi itu pun memberikan jimat kalungnya kepada La Sirimbone. Kemudian La Sirimbone mengalungkan jimat itu ke lehernya dan bisa berjalan di atas air. Tidak beberapa lama berjalan, ia bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan.

“Hei, Pak Nelayan! Alat apa yang Bapak gunakan menangkap ikan di sungai?” tanya La Sirimbone.

“Saya menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu.

Oleh karena tertarik, La Sirimbone pun meminta keris itu kepada si nelayan. Si nelayan pun memberinya dengan suka rela. Setelah itu, La Sirimbone kembali ke darat untuk meneruskan perjalanannya dengan menyusuri hutan. Di tengah perjalanan, ia bertemu orang-orang yang sedang mengusung jenazah. Ia pun memerintahkan orang-orang itu untuk menurunkan jenazah itu dari usungannya. Setelah membuka kain kafan jenazah itu, ia segera menggosok-gosokkan cincin pemberian jin di pusar jenazah itu. Seketika itu pula, jenazah itu hidup kembali. Semua pengantar jenazah tercengang melihat peristiwa itu. Setelah itu, La Sirimbone pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah raksasa perempuan, La Sirimbone pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.

Pada hari berikutnya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang di tempat yang agak jauh. Raksasa perempuan pun mengizinkannya, karena sudah tidak khawatir lagi dengan La Sirimbone. Apalagi La Sirimbone telah memiliki beberapa senjata pusaka. Setelah berpamitan, ia pun berangkat dengan menyusuri hutan dan lembah.

Saat melewati sebuah perkampungan, La Sirimbone memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meminta air minum kepada penduduk kampung karena kehausan. Ia pun berhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Ia berpikir bahwa penghuni rumah itu ada di dalam.

“Permisi! Apakah ada orang di dalam?” tanya La Sirimbone sambil mengetuk pintu rumah itu.

Alangkah terkejutnya La Sirimbone saat melihat seorang gadis cantik jelita muncul dari dalam rumah. Namun, wajah gadis cantik itu tampak murung dan gelisah.

“Maaf kalau saya mengganggu. Bolehkah saya meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone.

“Boleh. Silahkan duduk dulu!” seru gadis itu seraya masuk ke dapur.

Tidak berapa lama, gadis itu kembali sambil membawa segelas air minum dan memberikannya kepada La Sirimbone.

“Terima kasih, gadis cantik! ucap La Sirimbone.

“O, iya! Perkenalkan, nama saya La Sirimbone. Saya hanya kebetulan lewat di kampung ini dan hendak pergi berburu di sebuah hutan tidak jauh dari sini. Kamu siapa?” tanya La Sirimbone.

“Aku Wa Ngkurorio,” jawab gadis itu dengan suara lirih.

“Kenapa kamu tampak sedih dan murung seperti itu?” tanya La Sirimbone sedikit memberi perhatian.

“Iya. Saya memang sedih, karena ajalku sebentar lagi tiba,” jawab gadis itu.

“Apa maksdumu, Wa Ngkurorio?” tanya La Sirimbone penasaran.

“Saya sekarang sedang menunggu giliran dimakan oleh seekor ular naga. Saudara-saudaraku yang tujuh orang, kini sudah habis dimakan oleh ular naga itu. Yang hidup sekarang tinggal saya, ayah, dan ibu saya,” jelas Wa Ngkurorio dengan perasaan sedih.

“Sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini. Saya khawatir kamu juga akan dimakan oleh ular naga itu,” tambah gadis itu.

“Kamu jangan khawatir, ular naga itu tidak akan memakan kita. Jika dia datang, saya akan melawannya dengan senjata pusaka ini,” kata La Sirimbone sambil mengeluarkan keris pusakanya dari balik bajunya.